Wednesday 23 February 2011

The Vacation - Part 5 "Vale's Temptation and Liza's Steamy Jog Time"

            “Boleh pinjam bukunya?”. Arianna membungkuk hingga belahan dadanya terlihat. Vale tersentak, ia gelagapan, “Oh.. eh.. ya.. buku apa ya?”. Arianna terkikik, ia duduk dikursi kosong sebelah Vale, “Hanya mengagetkan kamu.. sejak masuk kamu diam aja, biasanya ngobrol sama anak2.. ada masalah?”. Cowok mana pun akan tunduk dengan Arianna, termasuk Vale yang melihat belahan dada Arianna yang bikin jakun lelaki naik-turun. Vale menggeleng, “hanya capek.. kamu taulah.. kuliah dan magang dirumah sakit..”.
            Arianna manggut-manggut, rambut coklatnya menari-nari menggoda. Mereka saling berpandangan dan tersenyum.. awkward moment. “Abis kuliah kamu ada acara?” Tanya Arianna sambil mengeluarkan buku kuliahnya. Arianna teman sekelas Vale, dia mengambil mata kuliah yang sama, namun dia bukan dokter, dia jurusan ilmu terapan. Vale berdehem, “Hmmm… mampir kerumah sakit bentar.. ngecek anak2..kenapa?”. Arianna menunjukkan lembar tugasnya, “Bisa bantuin gak? Aku bingung nih..”
            Vale membaca lembar tugas itu, “Ooh.. ini.. aku bisa membantu kok…”. Mata Arianna berbinar, ia mendekap lembar tugasnya, “Oh.. you’re such an angel.. Thanks!!”. Vale hanya tersenyum, lalu ia mengirim pesan singkat kepada Liza; “@class, miss so much, mi amore.. muach”
            Satu jam kemudian, kuliah usai, Vale membereskan buku dan catatannya.
            “Aku tunggu di apartemenku 2 jam lagi ya..” Arianna mencolek bahu Vale, sembari mengerdipkan mata dan berlalu.
            “Hey.. bukannya…” Arianna telah menghilang di kerumunan mahasiswa yang keluar ruangan, Vale menghela nafas dan mengusap mukanya, “Great…”.
            Setelah dari rumah sakit, Vale segera ke apartemen Arianna, berharap bisa segera membantu Arianna, makan malam dan kembali bertugas dirumah sakit. Vale mengetuk pintu beberapa kali, dia memainkan tali ranselnya, dan tak berapa lama Arianna membuka pintu. Vale menahan nafas melihat Arianna yang memakai celana super pendek dan tank-top berwarna kuning tanpa bra. “Ada apa?? Ayo masuk…” Arianna tanpa sungkan menarik tangan Vale yang kurus berotot. “Tunggu dulu ya, sedang masak ravioli, kamu mau?” ujar Arianna dari dapur. Vale menggeleng, “Enggak, makasih.. aku udah makan. Ummm… bisa langsung ke tugas kamu gak? Aku ada tugas dirumah sakit nie..”. Arianna muncul dari dapur membawa sebotol kola dingin dan meletakkan diatas meja. “Makan dengan pacar ya?” Arianna melipat satu kakinya disofa. Vale menggeleng, “Bukan.. teman nge-gym..”. Lalu Vale menanyakan beberapa hal yang Arianna butuhkan tentang tugas kuliahnya. Arianna menggangguk dan mencatat, sesekali ia melirik Vale dan tersenyum mengamati Vale. “Jadi, enggak semua kejang karena serangan stroke, bisa juga karena adrenalin terlalu banyak.Ngerti kan?” Vale menatap Arianna yang masih terpaku memandangi Vale.  Arianna terkesiap, “Oh… eh… iya..” ia menuliskan sesuatu dibuku tulisnya.
            Vale melirik jam tangannya, “Oke, semua beres ya…”. Vale beranjak dari sofa dan tiba-tiba Arianna sudah berdiri didepannya dan langsung mencium Vale. Vale terdiam, Arianna mundur beberapa langkah, “Maaf… aku…”. Vale menghela nafas, “Aku sudah punya pacar, aku maafkan apa yang baru saja terjadi, tapi aku harap hanya sekali ini kita ketemu seperti ini. Kalo kamu ada kesulitan tentang tugas kuliahmu, lebih baik kamu minta tolong mahasiswa lain. Aku gak bisa membantu kamu lagi. Terima Kasih kolanya.”. Arianna termangu melihat Vale menutup pintu apartemennya.

            Liza terengah-engah, dia menyandarkan badannya disebuah pohon besar. Sesekali ia menyeka keringatnya yang mengucur deras. Sinar matahari mengilat diatas kulitnya yang basah dengan bulir-bulir keringat. Iul tersenyum melihat Liza yang bersandar dipohon, “ayo… udah dekat kok..”. Iul mengatur nafasnya, sejenaknya matanya tertuju pada dada Liza yang naik turun. “Hey… watch where you looking at, boy…” Liza mendelik dan kembali jogging. Iul tergelak dan menjajari Liza. Sesekali mereka saling bertatapan dna tersenyum.
            “Oaaaaah…. Capeeeek…..” Liza merebahkan badannya dihalaman depan rumah keluarga Spies. Seakan Liza tidak peduli dengan rumput yang masih tertutup embun.
            “Gak biasa jogging ya?” Iul memiringkan tubunya. Liza menoleh, “Enggak… jalan-jalan dipantai iya.. lari dipantai kalo nguber anjing heheeheheh”. Iul terkikik, dan entah mengapa, mereka tertawa bersama-sama.
            “Eh… jangan takut ya… diem ya… ada belalang dirambutmu…” belum sempat Iul meraih belalang dirambut Liza, Liza berguling dan memeluk Iul, “Iiiih.. ambil.. cepet ambil.. uugghhh…aaaaaaaahhh….”. Liza membuka matanya perlahan-lahan, nafasnya tertahan, Iul tersenyum. Wajah mereka begitu dekat, sangat dekat hingga Liza dapat merasakan betapa hangat hembusan nafas Iul. Mata Liza menjelajah setiap sudut wajah Iul, mata, alis, hidung, pipi, dan beberapa saat berhenti di bibir Iul. Entah mengapa nafas Liza memburu, entah mengapa Liza semakin mendekatkan wajahnya, entah kenapa degup jantung Liza semakin kencang, entah kenapa….
            “Kita berdua harus mandi… Bau kita seperti bau biri-biri milik paman Spies” celetuk Iul. Liza terkikik menyadari betapa dekatnya wajah Iul, ia menjauh, lalu mengangguk, “Yup… harus mandi, kan hari ini aku mau membantu memanen tomat.” Iul bangkit dan melepaskan belalang yang sedari tadi ia pegang, “Iya.. aku juga harus memandikan kuda-kuda yang ada di istal…”
            Liza berdiri, “thanks for the morning jogging, I had fun…”. Iul menggangguk, “Me too…”.

Monday 31 January 2011

The Vacation Part 4 - Guys' Point of View

Vale dan Nicky saling berpandangan. Nicky menghela nafas, bersandar pada kursi diruang kerjanya. Vale memainkan ponselnya, “Jadi.. menurutmu gimana?”. Nicky mengangkat bahu, “Kita kasih pacar2 kita ijin, berarti kita percaya donk sama meraka…”
Vale berdiri, melipat tangan dan menerawang keluar jendela, “Iya.. aku juga ngerti.. tapi.. Kamu gak takut tuh si Tia digodain sama Ben?? Ayolah.. kita semua tahu sejarah kalian bertiga..”.
Nicky tergelak, ia menghampiri Vale, menepuk bahunya, “Kamu kawatir soal Tia apa Liza?”. Vale menoleh, kata-kata Nicky menohoknya, “Yaa… ummm.. ya….”. Nicky terkikik, “That’s what I though so…”. Vale mendengus kesal, lalu ia membaca pesan singkat yang masuk ke ponselnya,”Ayo.. anak2 udah nungguin kita tuh.”
Nicky membereskan pekerjaannya dan pergi dengan Vale. Sesampainya di gym, Randy, Jacques, dan Mattia sudah menunggu. Mereka berlima sering nge-gym bareng.
“Apa … kita … jadi … nyusul …. Pacar2 kita??” Tanya Randy sambil mengangkat beban. Jacques yang sedang sit-up hanya mengangkat bahu, lalu ia menoleh kepada Mattia yang sedang memukul sansak. “Aku kangen nie sama Cita…”.
Vale dan Nicky terkikik diatas sepeda statis. “Kangen yang mana nieh?” celetuk Vale kembali mengayuh sepedanya. Mattia tergelak dan kembali memukul sansak.
Dua jam kemudian mereka menikmati uap panas di ruang sauna.
“Seharian ini Luis belum sms atau telfon.. Pesan suaraku juga belum dibales…” ucap Jacques memecah keheningan diantara kepulan asap.
Randy menyeka keringat yang menetes dimukanya, “Tadi pagi Dee sms, minta maaf karena telat kasih kabar. Aku coba telfon, enggak diangkat…”.
“Udah..udah…” potong Vale, “Kita nikmati dulu sauna ini, critanya nanti aja pas makan siang.” Nicky mengangguk setuju, diikuti Mattia. Mereka pun larut menikmati sauna, tapi masing-masing tahu mereka kepikiran pacar-pacar mereka yang berubah sikap. Sebelum mereka berangkat liburan, mereka tidak pernah telat kasih kabar, tidak pernah absent mengirim sms, selalu membalas pesan suara, atau menjawab telfon.
            Randy, Jacques, Mattia, Vale dan Nicky berkumpul di restoran yang mereka kelola bersama. “The Fusion” restaurant, restoran dengan masakan Italia, prancis dan amerika. Randy mengunyah pisang sambil memegang ponselnya, ia berusaha menghubungi Dina, terdengar nada sambung, hingga…. ‘Hey it’s Dee.. sorry I can’t answer your call, leave voice mail and I’ll call you back.’. Randy mengusap wajahnya. Jacuqes menepuk bahu Randy, mencoba menenangkan Randy, “Coba aq telfon Luis ya..” Jacques memencet speed dial-nya, ‘tuuuut…. Tuuuut….’.
            “Hey Jacques..” sapa Luis di telfon. Jacques menegakkan posisi duduknya, wajahnya sumringah, “Mon chere.. I miss you… kok telat kasih kabar?”.
            Luis tertawa, “Iya.. maaf.. we’re having a great time.. And.. huh?? Iya.. iya.. aku segera nyusul…”
            “Mon chere.. gimana kabar yang lain?? Para cowok udah kangen ini..” Jacques membujuk Luis untuk memberi kabar.
            “Semua baik.. aku gak bisa lama2 nie.. udah ya.. Love you…” Klik.. Luis  menutup telfon.
Jacques melongo mendengar Luis memutuskan telfon, “She hang up on me…”. Mattia, Randy, Nicky dan Vale yang mulanya antusias, berharap mereka bisa mendapat kabar dari Luis tentang pacar-pacar mereka, langsung kecewa.
“Denger sendiri, kan??” Vale kesal. Nicky memejamkan mata, berusaha tidak terpancing emosi, “Iya.. tapi seperti yang aku bilang, kita kasih ijin pacar2 kita, berarti kita percaya mereka. Inget gak waktu kita liburan ski taun kemaren? Mereka juga kawatir kan??”. Vale memencet nomor Liz, terdengar nada sambung. “Halo??” jawab Liza dengan terengah-engah. Vale memencet tombol speaker, “Mi amore.. lagi ngapain?? Aku kangen…”
“Hey… a..ku.. la..gi.. hosh..hosh..” Liza terdiam sebentar, “aku lagi jogging nie.. ada apa??”
Vale terkikik, “Gak papa.. bingung aja kamu telat kasih kabar.. Gak biasanya kan.. Yang lain juga.. kalian sibuk liburan sampek lupa kasih kabar ya?”
Liza kembali berlari, terdengar deru nafasnya yang ngos-ngosan, “Iya.. hosh..hosh..hosh.. kita semua baik2 aja.. we just wanna enjoy our vacation before we go back home.”
“Masih lama ya liburannya?” Vale menyesap air minumnya.
“Hmm.. gak tau juga yah.. ntar aku kabari deh.. I have to go, miss you my turtle.”
“I miss ….” Klik., telfon terputus.
“She hang you up…” celetuk Randy.
Nicky meraih jaketnya, “Udah ya, aku harus kembali ke kantor nie… Kita kasih waktu lah sama cewek2 kita”. Tak lama mereka kembali ke tempat kerja masing-masing

Tuesday 4 January 2011

25

What goes wrong when we turn 25? I say "EVERY DAMN THING". Why? Too many pressure concerning carrier and love life. I'd reminded this bullshits since I was about to graduate from college. At first,I thought it's kindda joke, but then from time to time, I'm getting sick and tired with these questions below:
"What do you do for living?"
"Why you still single at your age?"
And... prepare for the biggest and the oldest question of all time...
"WHEN WILL YOU GET MARRIED?"
It's not like I'm too picky when it comes to men or guys, I have my own fears. With the over-active imagination I have stuck on my brain, I have my own reasons, fears, excuses or any denials I can found to answer those completely ridiculous questions.
Yes... I'm afraid of getting into relationship.. Wanna know why?
1. EXPERIENCES (a.k.a TRAUMA)
The longest relationship I involved was one year, and the rest is like seasonal, break up every three months. I'm tired of "still can't find the right person". Why I break up so easily? One of the reasons is I can't commit, if it hits three months with him, I feel bored. Not mention I'm easily to be manipulated, easily to be lied to, and easily to be cheated to. It's not fun anymore...And I easily replace my date schedule and I tend to spend my time with my friends rather than with him. So, I can also conclude that, I still can't differentiate between CRUSH and LOVE.
2. PARENTS
We all know that every relationship must lead somewhere (read: MARRIAGE), it's the same thing with me. The problem is, since I knew how to date, my parents never given me the permission or blessing for me to have relationship with a guy. Only one time, I was in senior high school, it was my Dad who said "Okay, you can date him.." But my Mom, "what for?? all you have to do is study hard, not dating guys". There's a rule in my religion that parents' blessing and permission is God's blessing and permission too, and it was right. My high school ooey gooey love only lasted for 3 freaking months!!! Since then, I always ask my parents if I want to have a relationship, because I believe that if they sincerely let me have a relationship, who knows it might last.
3. TOO MANY BAD EXAMPLES
Yup... too many divorces, marriage by accident, or just when they think they're ready and turns up if they argue, she will return to her parents home. WHAT THE HELL KIND OF MARRIAGE IS THIS?? One of my former high school friend experience domestic violence, her husband's hobby is to slap her, to abuse her...
So, if i ever experience domestic violence, the one who i really love, could become the one i really hate.

I think this is the top-three fears,denials,excuses.. You can anything you want... But hey.. THIS IS MY LIFE, so LET ME LIVE MY LIFE THE WAY I WANT IT TO BE

The Vacation Part 3 "Heaven's On Earth"

"Siapa seh yang ngatur penjemputan??" Aku mencak-mencak, bukan hanya karena hawa panas Texas, tapi karena sudah setengah jam mereka landing hingga selesai pemeriksaan bagasi, mereka masih dengan manis berdiri didepan bandara. Liza menyeka keringatnya, "Sabar kenapa,Tia... baru juga setengah jam.. si Vale pernah tidur di bandara gara2 pesawatnya delay...".
"Akhirnya muncul juga...." seru Luis sambil menunjuk sebuah mobil pick-up warna hitam. Aku menggeleng. 'Sial... naik mobil sapi....' aku berkata dalam hati. Aku membalikkan tubuh, sebal dengan segala liburan yang tidak masuk akal ini, dengan pemilihan tempat, dengan penjemputan yang lambat, dengan....
"Hello Girls... Pinky Kitty..." Ben melompat turun dari mobil. Dibelakang ada empat orang temannya ikut serta. Aku menoleh, terpana melihat Ben. Celana jins ketat, sepatu bot, kaos hitam tanpa lengan, serta... Topi koboi yang selalu ia kenakan. Aku mengangguk membalas sapaan Ben.
"So, Ben.. won't you introduce your boys to us?" selidik Cita sambil melirik salah satu teman Ben. Cowok dengan kulit coklat, otot menonjol dari kedua lengan, serta perut yang tertutupi oleh kaos warna kuning pucat juga sederet gigi putihnya.
Ben tergelak, "My bad... Girls, this is Wesley, Iulius, Jorge, dan Cesc... Boys, this is Tia, Liza, Luis, Dina and Cita.." Mereka saling bersalaman. Ben dan teman-temannya selesai membantu para cewek menaikkan koper-koper mereka.
“So, who gets the front seat?” tanya Dina sambil tersenyum dan melirik Cesc.
“TIA!!!” ujar Cita,Luis dan Liza bersamaan dan segera mereka naik dibagian belakang pick-up. Aku meringis mendengar seruan teman-temanku. Ben membuka pintu dan membungkuk, “After you, Princess…” Liza, Luis, Dina serta Cita langsung bersorak melihat kelakuan Ben. Aku memejamkan mata, mengutuk perbuatan teman-temanku.
Ben melajukan mobil dengan santai. Aku dapat mendengar teman-temanku mulai saling berkenalan dengan teman-teman Ben.
“Jadi, apa yang membuatmu datang ke Texas,Iulius?” Tanya Liza sambil sesekali memegangi topinya yang hampir terbang tertiup angin. Iul menyandarkan badannya, “Panggil saja Iul” ia mengedipkan matanya, “hmm… well… Aku ingin sekali belajar bahasa Inggris, dan sewaktu ada pertukaran mahasiswa, aku mendaftar dan disinilah aku..” Iul lalu bercerita kehidupannya di Rumania sebelum pindah ke Amerika.
“Sudah lama tinggal di Miami?” ucap Cesc mencoba memecah kebisuan antara ia dan Dina. Dina mengangguk, “iya.. kamu?”. Cesc mengarahkan tubuhnya yang atletis menghadap Dina, “Baru beberapa bulan… Aku dari Spanyol…” Dan sebentar kemudian Dina tertawa mendengar lelucon Cesc.

Luis mengaduk-aduk tas ranselnya, mencari sesuatu. “Bisa kubantu?” Jorge memperhatikan Luis. Luis mendongak, “Oh ya, terima kasih, aku mencari.. uumm.. mana ya…” JREBBBB!! “Ouch” Jorge meringis terkena sikutan Luis karena terlalu bersemangat mengaduk-aduk isi tasnya.
“Ya Tuhan.. maafkan aku… Sakit ya… Maaf ya…” Luis meletakkan tasnya dan langsung menyentuh perut berotot Jorge. Jorge terdiam, begitu juga Luis. Mereka saling bertatapan. Luis dapat merasakan kehangatan dan betapa liatnya otot-otot perut Jorge.
“Ehem…Ehem… EHEEEM!!” Cita berdehem melihat Luis dan Jorge saling terpaku. Lalu keduanya tersadar dan terkikik. “Tenggorokanmu sakit?? Butuh minum?” Wesley memberikan sebotol air minum kepada Cita. Mata Cita bertemu dengan mata Wesley yang kecoklatan. “Terima kasih…” kata Cita masih terus berpandangan dengan Wesley.
“Speed-Bump ahead…” teriak Ben dari depan.
“Bump whaaaaaaaaaaaaaat??” Belum sempat mereka bertanya, mobil melewati polisi tidur dan para cewek dibelakang hampir saja jatuh jika tidak bertumpu pada temanp-teman Ben. Aku terkikik melihat mereka dengan sukses bersandar pada para cowok dan sibuk minta maaf serta membenahi posisi duduk mereka. Aku menoleh dan Ben juga menoleh, kami saling berpandangan untuk pertama kalinya sejak dari bandara. Mata hijau-keperakan Ben membuatku terhanyut selama beberapa detik, lalu aku segera menoleh kearah lain, menyadari pipiku telah memerah tanpa aku tahu sebabnya.
Ben kembali mengalihkan pandangannya ke jalanan, “Jadi… bagaimana Miami?”. Aku mengangkat bahu, “Well.. bagus.. ya begitulah…”. Aku hendak mengambil minum disamping tempat dudukku dan tidak sengaja tanganku menyentuh tangan Ben. Sejenak aku terdiam, dan Ben kembali memandangiku sambil tersenyum. Senyum yang mengaduk-aduk perutku.
“Kita sudah sampai…” ucap Ben. Aku terkesiap, menyadari tanganku masih menyentuh tangan Ben entah untuk berapa lama, “Thanks..” Aku lanngsung turun. Melihat sekelilingi. ‘Hhhhhmmmmpppphhh…aaaaaah….’ Aku menghirup nafas dalam-dalam.. Segarnya suasana pedesaan. Rumah Ben cukup besar, kulihat orang tua Ben telah menunggu kami diteras. Mereka bergegas menyambut kami. “Halo…. Syukurlah kalian sampai dengan selamat…” Paman Rick dan bibi Michelle bergantian memeluk kami. Ben dan para cowok kembali membantu para cewek membawa tas mereka kedalam rumah.

“Ayo istirahat dulu… Kue dan limun dinginnya sudah bibi siapkan diluar. Ben, ajak mereka ya..” Bibi Michelle lalu kembali sibuk dengan masakannya. Kami dapat mencium bau harumnya sewaktu kami duduk diluar, dibawah sebuah pohon ek besar. Meja kayu dengan alas kain bermotif kotak-kotak merah, dan diatasnya telah tersaji sepiring kue coklat dan se-pitcher limun dingin.

“Kalian ingin istirahat atau ikut kami ke festival panen? Liza pintar sekali memilih waktu. Bulan ini ada berbagai macam festival merayakan panen jagung. Ada banyak permainan yang kalian bisa ikuti.” Ucap Ben sambil mengunyah kue. Mendengar ucapan Ben aku langsung melirik Liza, Liza hanya meringis dan segera meminum limun dinginnya.

“Oh iya??” mata Luis berbinar senang, “Ayo kita kesana.. Ayo…”.
“Ntar dulu napa,Lu..” Liza menenangkan Luis,”Kita isi energi dulu..”
Dina menyandarkan badannya lalu menengadah menikmati hangatnya matahari, “Iya nie anak… Sabar dulu.. tadi abis dikocok sama Ben.. No offends Ben.. “
Ben menggeleng, “Non taken… Jalannya memang bumpy..”
“Kita akan main kejar anak sapi lo…” kata Wesley diamini oleh Jorge dan Cesc.
“Wes selalu menang, tapi aku dan Cesc akan pastikan dia kalah tahun ini, ha..ha..ha…” Jorge dan Cesc tertawa.

Kami pun lalu menuju festival panen dibagian barat Texas. Ben mengenalkan kami kepada panitia dan kami mendapatkan akses hingga kebelakang panggung. “Kalian bisa lihat kita dari sini, Kita ganti baju dulu ya…” pamit Ben dan teman-temannya.
Gak pake baju juga gak papa…” bisik Cita dan kami pun terkikik. Untung Ben dan teman-temannya sudah pergi. Kami menunggu bersama dengan pengunjung yang lain. Para anak kecil berteriak-teriak dengan riangnya. Beberapa kali Luis melambai kepada para koboi ditribun atas. Kami pun bersorak ketika panitia mengumumkan giliran Ben dan teman-temannya akan tampil. Namun teriakan kami berhenti ketika kami melihat Ben, Wes,Jorge, Cesc dan Iul berjalan menuju arena dengan bertelanjang dada. Yup… hanya celana jeans butut selutut serta topi koboi sebagai aksesoris. Kami terdiam dan saling berpandangan. “Oh my God… This is totally heaven’s on earth”
“Go Cesc!!!!” teriak Dina. Dan diikuti oleh Luis, Liza, dan Cita.
“Ayo Wes!!! WooHoo…” Cita melompat-lompat.
Luis melambaikan topi koboinya, “Vamos Jorge…”
“Iul..Iul..Iul…” Liza menyerukan nama Iul.
Aku terkikik melihat tingkah polah mereka. “Hey Pinky Kitty…” Ben menghampiriku. Aku menoleh, “Wish us good luck…”. Ia mengedipkan matanya. Kami pun menyadari betapa kami akhirnya terpikat oleh kelima cowok itu. Mereka memiliki kesamaan: badan tegap atletis, otot perut yang liat dan kencang, serta lengan kuat yang membuat kami penasaran bagaimana rasanya jika dipeluk. Belum lagi celana jins selutut mereka yang ketat membungkus pantat seksi mereka, dibuktikan dengan jeritan cewek-cewek ditribun seberang kami. Kami saling perpandangan dan melempar senyum yang kami berlima sangat paham apa artinya.
Permainan berjalan seru. Hari ini permainan kejar anak sapi dilakukan berkelompok. Kami tak henti-hentinya memberikan dukungan bagi Ben dan teman-temannya. Wes terjatuh, terpeleset lumpur. Jorge, Iul dan Ben menghadang anak sapi, dan Cesc dibantu Wes mencoba mengaitkan tali dileher anak sapi. Sedetik kemudian, Jorge, Iul dan Ben berhasil menangkap anak sapi dan membantu mengaitkan tali dileher anak sapi. Juri meniup peluit dan mencatat berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permainan ini. Kami pun duduk setelah lelah berteriak dan melompat-lompat.
"Permainan kami bagus tidak?" ujar Iul mengagetkan kami. Mereka telah mandi dan ganti pakaian, rambut mereka basah oleh air, bau cologne tercium ketika mereka duduk disebelah kami. Liza tersenyum ketika Iul duduk disebelahnya, "Yup... Kalian hebat... Baru kali kita melihat permainan seperti ini."
"Sekarang tinggal menunggu siapa pemenangnya.." kata Wes sambil meminum air. Cita masih tidak berkedip melihat bentuk otot lengan Wes.
Tak berapa lama panitia mengumumkan pemenang permainan kejar anak sapi.
"Pemenang Kejar Anak Sapi berkelompok jatuh kepada..... Ben, Wesley, Cesc, Iul dan Jorge!!!!"
Kami berteriak dan berpelukan. "Kalian menang... yeaaaay!!!" Liza memeluk Iul.
"You did it!!!!" pekik Luis menghambur ke pelukan Jorge.
"Nice work" Dina mengedip ke Cesc setelah memeluknya.
"Well done,Wes..." Cita memeluk Wes.
Aku tersenyum memandang Ben, "Kalian berhasil..". Ben meletakkan topinya, "Ummm.. is it okay if i ask for a hug? I mean they got the hug and I..." Aku langsung memeluk Ben dengan erat. Tangan Ben dengan lembut membelai punggungku.
"Ayo,Ben.. kita harus turun menerima piala..." Jorge dan yang lainnya telah menunggu Ben. Ben menyentuh pipiku, lalu ia menghampiri teman-temannya.
"Gak salah kan kalo aku meluk dia?" aku menoleh kepada Liza, Luis, Dina dan Cita.
Dina terkikik, "Umm.. we kindda hug the boys too...". Lalu kami pun tergelak. Kami menghabiskan sore itu dengan makan jagung bakar dan berjalan-jalan disekitar festival. Memilih tempat permainan mana yang akan kami datangi keesokan harinya. Tepat pukul 7 malam, para cowok mengantarkan kami pulang. Setelah berpamitan, kami berkumpul untuk makan malam. Sup ayam, salad sayuran, bola-bola daging serta pudding coklat sebagai penutup benar-benar mengenyangkan perut kami yang kelaparan. Kami merebahkan badan ke tempat tidur.
"Hari ini benar-benar indaaaaaaaaaaaaaaaaah.." Dina merentangkan tangannya.
Cita memasang muka aneh sambil memeluk bantalnya, "Ummm... kok ada yang aneh ya rasanya? Kayak ada yang belum aku lakuin, apa ya??"
"OH SHIT!!!" aku terpekik sambil melihat ponselku, "9 pesan singkat, 7 pesan suara, 20 panggilan tak terjawab" . Liza dan Luis menatapku, dan saling berpandangan. "Kita lupa kasih kabar ke pacar kita!!" seru Luis dan Liza bersamaan. Jadilah kami sibuk mengecek ponsel kami.
"Ya Tuhan... 20 panggilan tak terjawab, 10 pesan singkat, dan 5 pesan suara.." gumam Liza.
Luis menghela nafas, "5 panggilan tak terjawab, 15 pesan singkat, dan 10 pesan suara.."
"8 pesan suara, 10 panggilan tak terjawab, 17 pesan singkat.... mati aku!!!" celetuk Cita.


TO BE CONTINUED.....

Saturday 1 January 2011

The Vacation - Part 2 (Saying GoodBye)

"I'm gonna miss you, my turtle..." Liza memeluk dan berulang kali mencium Vale. Yup... "my turtle" adalah nama panggilan sayang Liza ke Vale karena ada tato kura-kura kecil dipinggang Vale. Tangan Vale yang keras tapi lembut menyambut tubuh Liza yang mendekat dan menempel pada tubuh Vale yang kurus dan berotot. Jemari Vale dengan cekatan memijit tengkuk  Liza sementara lidah Vale terus menerus menggoda lidah Liza dan sesekali melepasnya, namun Liza seakan tidak ingin melepaskan bibir Vale dari pagutan bibirnya. "Better stop it or I have to carry you inside" bisik Vale sambil menghujani wajah Liza dengan ciuman kecil. Liza terkikik dan menyandarkan kepalanya didada Vale. Luis menggeleng, "Mana si Jacques seeh?? Garing aku  liat yang lain..." lalu ia segera masuk mobil. Dina duduk nyaman diatas pangkuan pacarnya - Randy de Puniet -  trainer pembalap crosser, diatas sepeda motor Honda CBR 1000RR warna hitam. Sesekali tangan Dina menelusuri alur otot diperut Randy sementara Randy menggoda Dina dengan ciuman-ciuman lembut di leher Dina. Aku menuruni tangga teras sambil membawa koper kecil dan memasukkannya ke bagasi mobil. Beberapa kali aku melirik ponselku, berharap Nicky menelfon sebelum aku melakukan perjalanan geje dengan para sahabat terbaikku. Aku menoleh kearah Cita yang terkikik karena pacarnya - Mattia Pasini- seorang pelatih surfing juga trainer motorcross sedang menelusuri wajah Cita sambil sesekali menciumnya. Mattia menepuk pantat Cita, "Jangan lupa telfon...". Lalu ia mencium Cita hingga Cita tak kuat menahan tubuhnya sendiri dan bersandar pada tubuh Mattia.,jemari Cita dengan lembut membelai paha Mattia. Cita terkikik ketika pantatnya bergesekan dengan celana Mattia, "Wow... Ngganjel".
'Kapan berangkatnya kalo pada mesum semua gene??' aku berkata dalam hati dan duduk ditangga teras.
"Jacques!!!!" pekik Luis dari dalam mobil dan dengan cepat ia keluar menemui pacarnya, cowok Prancis dengan aksen bahasa super duper aneh - Jacques DePardieu  - trainer surfer di pantai. Luis melompat dalam pelukan Jacq.
Jacq meremas pantat Luis, "Maaf telat... A..." Luis mencium Jacq dengan riang, "Gak papa...Awas aja kalo sampek kamu gak dateng." Luis mencubit pinggang Jacques yang ramping berotot.
Aku merasa sendiri.... Semuanya sedang berpamitan dengan orang terkasihnya, sedangkan aku.. Aku menghela nafas, kemudian menunduk serta memejamkan mata. Seolah aku sedang bermimpi buruk dan berharap jika aku membuka mata, semua akan berakhir.
"Siap untuk bersenang-senang?". Aku mendongak, dan melihat wajah, senyum, serta bau parfum yang amat sangat aku kenal. Aku bangkit dan langsung memeluk Nicky yang tak membuang waktu menyambutku dengan ciuman-ciuman hangat.
"Hentikan... Nicky.. tolong.. aduuh.." Nicky tak memberiku kesempatan untuk bicara. Bibirnya dengan sigap membuka mulutku dan membasahi lidahku dengan  belaian lembut lidahnya. Kami sama-sama terengah-engah, sama-sama merasakan gairah yang membuncah, lalu Nicky mencium dahiku. Dia menyapu bibirku, mencoba menghilangkan semburat merah hasil perbuatannya yang nampak jelas dan baru akan hilang beberapa menit lagi.
"Jadi pergi gak nie?" teriak si sopir - Paman Dan Craig - sopir langganan kami jika kami menyewa mobil untuk keluar kota atau ke bandara.
Kami berlima terkekeh, lalu segera pamit pada pacar-pacar kami.
Vale memeluk Liza, "Mi amore...".
"My Dee-namite.. hati-hati ya... sering-sering sms" ucap Randy dan kembali mencium Dina.
"Iya.. aku gak bakal lupa telfon kok..." ujar Luis kepada Jacques.
"My Tigger... nitip oleh-oleh apa?" tanya Cita. Mattia menggeleng, "I want you!!!!". Sedetik kemudian Cita kembali terkikik dan berusaha menutupi lehernya yang telah memerah.
Aku tertawa melihat ulah teman-temannya, tangan Nicky masih membelai punggungku. Aku menoleh kepadanya, "Maaf, aku tidak bisa membantu renovasi kamar Anna." Nicky memelukku, "Iya, gak papa... Setelah kamu pulang liburan kan bisa." Ia mengedip dan menciumku kembali.

15 menit kemudian kami tiba di bandara Miami. Penerbangan menuju Texas masih sekitar satu jam lagi,tapi dengan pengecekan dan pendaftaran bagasi, akhirnya kami hanya menunggu setengah jam saja.
"Nicky tahu kalo kita liburan ke Texas?" tanya Cita sambil mengunyah permen. Luis, Dina, serta Liza langsung meletakkan ponsel mereka dan memandangku. Aku merinding melihat tatapan mereka.
"Tau lah... Kamu tau sendiri aku gak bisa boong.." aku meringis.
"Kecuali kalo kepepet.." Liza, Luis, Dina serta Cita menyahut bersamaan.
Aku mengangguk dan tertawa, "Semacam itu laaah....".
"Bukannya Nicky cemburu setengah metong sama Ben?" ujar Luis yang sedang duduk dideretan kursi didepanku. 
"Iya.. Sampai sekarang pun masih...," jawabku dengan hati-hati,"Tapi dia belajar untuk menata rasa cemburunya. Sama dengan aku, aku juga cemburu kalo inget kita main di pantai dan cewek-cewek ngeliatin Nicky kayak...."
"A very yummy chocolate that we wanna lick it no matter what" celetuk Liza.
"Huh? Maksutnya..??" Dina melirik kepada Liza.
"Gini loh ya ibu-ibu.. Pastilah kalian sadar kalo pacar-pacar kita itu pacar idaman para cewek. Seandainya kita masih jomblo, main ke pantai terus ngeliat cowok-cowok seperti pacar-pacar kita gimana coba?" Liza berpendapat.
"Ngiler...." ujarku singkat.
Cita menghela nafas, "Adem panas... Kangen my Tigger.."
"Gulung-gulung dipasir..." kata Luis sambil cengar-cengir.
Dina menepuk dahinya, "Alamak... kamu pikir kita-kita nie anjing kayak si PawPaw?".
Kami pun tergelak, dan begitu nomor penerbangan kami diumumkan, kami segara menuju pintu keberangkatan.

TEXAS... here we come

TO BE CONTINUED....

Thursday 30 December 2010

The Vacation - Part 1

Nicky tersenyum melihatku... Aku tersihir oleh mata hijaunya dan ikut tersenyum, "Kenapa?? Kok gitu sih ngeliatin aku...".
Nicky tergelak, "Nggak boleh ya...". Aku menggeleng pelan, "Bukannya nggak boleh, kamu ngeliatin sambil senyum-senyum, aku kan jadi takut.. Ada bekas kue nempel dimukaku ya??". Aku meraba-raba mukaku, mungkin ada sisa-sisa kue yang aku makan tadi. Kue buatan Mama Rose - ibunda Nicky - sangat enak. Kue coklat tiga lapis, aku menolak untuk makan, tapi Mama Rose memaksa.
"Kalau datang ke rumah keluarga Hayden, wajib makan" begitu kata Mama Rose. Aku cuma meringis, dan dengan senang hati melahap kue itu. Mama Rose terkejut dan dia tersenyum, beliau memelukku sembari berbisik, "Kamu akan baik-baik saja...". Lalu beliau mengecup dahiku dan meninggalkan aku dan Nicky bercengkerama didapur.
Nicky meraih tanganku yang masih berkelana dimukaku, dia menggenggam dan menciumnya... Aku bisa merasakan pipiku memerah, Nicky tersenyum dan menelusuri bias-bias kemerahan dipipiku... Aku menunduk, menyembunyikan rasa malu yang semakin menyerang dan aku yakin membuat wajahku seluruhnya memerah.
Mata kami saling beradu, Nicky mendekat, semakin dekat... Aku bisa merasakan hembusan nafasnya dikulit wajahku, wangi cologne yang ia pakai... Waktu serasa berhenti, Nicky menelengkan kepalanya, aku juga... Bibirku membuka menyambut ciumannya...
"ES KLIM!!!!" teriak Anna yang berlari masuk dari pintu yang menghubungkan dapur dan taman belakang. Aku terhenyak, Nicky terkejut, lalu ia mundur dan memperbaiki posisi duduknya. Aku juga, pura-pura bermain dengan garpu yang kupakai untuk makan kue tadi sembari menunduk, mencoba menata perasaan yang kacau balau.
Anna, keponakan Nicky yang berumur 8 tahun. Rambut pirang, bermata biru, mencoba meraih pegangan lemari es yang lebih tinggi darinya. Dia cemberut,lalu menoleh kearahku dan Nicky. "Om.. ambilin es klim donk..." rengek Anna.
Nicky turun dari kursi, berjongkok dan memencet hidung Anna, "Sudah ijin Mom,belum?".
Anna meringis, memperlihatkan gigi depannya yang tanggal, lalu ia berlari menuju pintu. Nicky terkekeh, "Sebaiknya kita pergi yuk, sebelum kita diserbu monster es krim." Aku mengangguk dan segera mencuci piring serta gelas bekas makan aku dan Nicky.
Kami baru saja akan menaiki mobil ketika ponsel Nicky berbunyi, dia mengangguk, dan sesekali menjawab singkat, lalu raut mukanya berubah serius. Nicky memainkan ponselnya, lalu menghela nafas, "Kita tunda dulu ya... Ada urusan mendadak...".
Aku mengangguk, mengerti kesibukan Nicky mengurusi bisnis keluarganya. Aku membuka tas dan mencari kunci mobilku, "Ya sudah... aku pulang ya...". Secepat itu aku menyadari Nicky menciumku, lembut dan hangat. Bibir Nicky membuka bibirku perlahan, kedua tangannya menangkup pipiku. Semakin lama ciumannya membuat lututku lemas, tak kuat menahan gejolak yang meletup-letup. Nicky melepaskan bibirnya, kening kami saling bertemu. Nafas kami sama-sama memburu, dia mengecup bibirku lembut. Ia menarikku dalam pelukannya, aku bisa merasakan dampak ciuman kami dari celananya yang menempel ditubuhku.
Nicky melambaikan tangan ketika mobilku berlalu dari halaman rumahnya. Aku menepikan mobil, membaca sms yang masuk dari Liza, salah satu teman serumahku. Aku, Liza, Cita, Dina dan Luis menyewa sebuah rumah. Awalnya aku menyewa sendirian, lalu aku bertemu Cita,  kemudian Liza, Dina dan yang terakhir Luis.
"From: Liza (+14646xxxx)
Lagi dimana? Meeting at camp ASAP"
Aku menggeleng pelan, 'repot nie urusane kalo ada kata ASAP', aku berkata dalam hati. Tak lama aku sampai rumah, tampaknya semua sudah berkumpul, aku yang paling akhir. Ada mobil New Beetle warna biru milik Cita, Fiat 500 hijau punya Liza, sepeda listrik milik Dina, serta otopet kepunyaan Luis.
Suara cengkerama mereka menyambut langkah kakiku diruang tengah.
"Naaah.. datang juga.. kemana aja seh, mbak??" serobot Luis.
"Iya nie.. ditungguin juga.. aku kirim sms'e lo lima belas menit yang lalu.." ujar Liza tidak mau kalah.
"Ma..."
"Pasti lagi kencan ya... ponselnya di-silent.." potong Cita cepat dengan sorot mata menyelidik.
Aku duduk disofa,  mengangkat kaki serta melipat tanganku didepan dada, "Apa yang urgent dan ASAP?".
"Waaah... sikap badan menolak memberikan penjelasan..." kata Dina.
Liza berdehem, "Oke.. meeting is officially opened. To the point yah, piknik kita minggu ini ke Texas!!!!". Cita, Dina dan Luis terpekik senang. Aku tersenyum, "Sejak kapan diputusin? Bukannya kita harus survey tempat dulu?".
"Sudah diputuskan karena kita mendapat tempat menginap GRATIS!!!" Liza mengedipkan mata.
Aku mengernyitkan dahi,"Gratis? Hari gini masih ada yang mau kasih gratisan?".
"Ada donk..." Cita menimpali sembari tersenyum. Aku merasakan ada sesuatu yang lain.
"Kita nginep dipeternakannya Ben,Mbak..." kata Dina. Aku terlonjak kaget.
"Ben?" suaraku tercekat. Luis mengangguk, "Iyaaa... Mbak, Benjamin Patrick Spies". Aku menutup muka mendengar Luis menyebutkan nama lengkap Ben.
"I'm not going.." ujarku cepat. Para cewek yang lain bersahut-sahutan menunjukkan protes mereka.
"Girls... please.. one at a time.." Liza menengahi, lanjutnya, "Kenapa gak ikut? What ever happen in the past, doesn't matter anymore,right? Kamu udah move on, kamu sama Nicky sekarang..."
"Iya,mbak...Kan kita liburannya bareng-bareng, bukan mbak Tia sendiri.." Luis menimpali.
Cita duduk disebelahku, "Tenaaaang... Gak akan aku biarkan si Ben godain kamu.. Aku yang nggodain Ben."
Aku tergelak, dan kami pun tertawa bersama-sama. Suara tawa kami menggema keseluruh rumah.
"Harusnya kalian tempel pengumuman dipintu kulkas kalau mau rapat...". Aku menoleh melihat asal suara itu, ternyata pacar Liza, si dokter anak nyentrik Valentino Rossi. Mukanya kusut, rupanya suara tawa kami membangunkan dia dari tidur siangnya. Liza meringis, "Maaf, sayang...". Vale menggeleng dan tersenyum, meminum jus jeruknya dan dengan cuek berbalik menaiki tangga menuju kamar untuk kembali tidur. Aku langsung menatap Liza dengan tatapan menuduh.
"Dia kuliahnya sampek malem terus...Aku bilang, kalo pagi ada shift, pulang kesini aja, jadi aku bisa nyiapin sarapan buat dia.." Liza menjelaskan, aku dan yang lain hanya geleng-geleng kepala.
"Tiap kali Vale nginep sini, tagihan listrik kita naek loo... Pasti karena malem-malem mandi yah.." Cita menggoda Liza. Luis dan Dina terkikik.
Liza cemberut, "Jangan nuduh donk Cit...".
"Udah..Udah.. Nie jadinya ke Texas ya?" aku ingin cepat-cepat menyudahi rapat geje ini.
"HO OH" keempat cewek itu menyahut dengan mantabnya. Aku mengangguk dan beranjak dari tempat dudukku, "Okelah kalo begitu..."
Luis melihat aku naik tangga sambil bergumam, "Kok pasrah gitu ya?".
"Lagi capek kali,Lu.." kata Dina kembali sibuk dengan majalah olahraganya.
"Bobo ah..." Liza dengan sigap pergi dari ruang tengah. Cita melongo, "Lho... yok opo seh??". Dia merengut, lalu Dina dengan cuek menyodorkan remote tivi kepada Cita.

Tibalah hari yang ditunggu, dari pagi para cewek sibuk mempersiapkan diri.
Aku menghela nafas, masih tidak percaya karena akan ikut liburan gila ini. Gimana nggak gila, liburan menginap di peternakan cowok yang pernah aku taksir abis-abisan setahun yang lalu.
"We're ready to go, kumpul dibawah sekarang!" Liza muncul dipintu kamarku, lalu aku mendengar dia mengingatkan para cewek yang lain.

TO BE CONTINUED....

Unexpected

"Liz... ini lo bagus..." Tia menyeret Liza ke rak dekat pintu masuk. Mereka sedang berbelanja pernak pernik hiasan. Liza terkikik, "Aku belum selesai lihat yang sebelah situ, malah ditarik kesini...". Tia memegang sebuah vas bunga dengan tempelan cangkang kerang, "Jarang-jarang aku bisa maen ke Bali." Dia mendengus, menyeka keringat yang menetes didahinya dengan tisu, "udah hampir 3 hari disini gak nemu bule yang cucok. Minimal artis sapa getoooh..."
Liza geleng-geleng kepala melihat Tia lalu ia mengambil sebuah topi dan mencobanya, "Pantes gak?? Lagian ya Ti.. mana mungkin artis Hollywood liburan disini, lak dikerubuti kayak Julia Roberts syuting EPL."
Liza meletakkan topi dan menoleh keluar, kearah ramainya jalanan; Bali... Banyak turis dan orang lokal berlalu-lalang, mata Liza berkeliling, seperti mencoba mencari seulas wajah yang ia kenal hingga...
"Ti...Tia.. Tiaaaaa..." pekik Liza sambil lompat-lompat. Tia masih sibuk dengan kotak aksesoris dari tempurung kelapa, "Apa Liz... apa??".
Jari Liza menunjuk ke seberang jalan, "Itu.. itu looo.. Haduuh.. aq gak ngimpi kan??". Liza menepuk-nepuk pipinya, meyakinkan dirinya ia tidak sedang bermimpi, lalu ia mencolek-colek lengan Tia. Tia tampak tidak memperdulikan Liza. Liza merengut, lalu ia merenggut pipi tembem Tia dan menariknya, menolehkannya. Mata Tia melotot, dia melongo melihat seseorang diseberang jalan.
"Is that...." Tia gak percaya.
Liza mengangguk-angguk dan tersenyum, "Looks like it..".
Tia menggeleng, "Gak mungkin... Artis Hollywood macem dia kok, mana mungkin, mirip doank tuh... Dah, aq masih harus milih barang buat oleh-oleh nie".
Tia kembali sibuk dengan berbagai macam pernak-pernik ditoko. Liza menyipitkan matanya, hawa Bali yang panas mungkin saja menimbulkan fatamorgana. Tangan Liza menutupi sebagian dahinya, menghalangi silau sinar matahari, "Iya... mirip be'e ya...". Liza mengangkat bahunya, lalu ia mencoba kacamata dengan bingkai cangkang kerang.
"Hello girls..."
Tia dan Liza menoleh, mereka tercengang melihat si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood berdiri didepan mereka dan menyapa mereka.
"Hi.." balas Liza. Tia meletakkan belanjaannya, tersenyum-senyum geje, "Ha...Haa.. Ha.."
Liza menyenggol Tia, "Hello...". Tia dan Liza saling berpandangan.
"How are you?" Liza berusaha memecah kegugupan.
Si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood tersenyum, "Good.. I just wondering, could you girls help me?".
Mata Tia dengan seksama meneliti cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood. Celana surfing selutut warna coklat, biar pake sendal jepit tapi gak mati gaya, malah bikin cewek-cewek yang ngeliat ngos-ngosan - seenggaknya itu yang dialami Tia - kaos tanpa lengan warna putih polos, lengan yang liat dan otot-otot yang menonjol... Tato di lengan kanan dan kiri, benar-benar mirip dengan...

"You're not accidentally looks like Alex O'Loughlin, are you?" celetuk Tia tanpa dosa.
Liza melotot mendengar ucapan polos Tia. Liza menepuk jidatnya, "I'm sorry... what she's trying to say is..."
"What if I'm REALLY Alex O'Loughlin?" ujar si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood.
Tia tertawa terbahak-bahak, "No, way.. There's no way my Alex "Commander Steve McGarrett" O'Loughlin having vacation in Bali. It's not like Hawaii is not good enough, rite Liz??"
Liza menggeleng dan melotot kearah Tia dan berbisik, "Emang dia ALEX O'LOUGHLIN.. Kamu lihat tuh tatonya!!! Mana ada orang punya tato mirip???".
Senyum dari wajah Tia menghilang, matanya tak berkedip menatap tato dilengan kanan dan kiri si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood. Tia mengambil ponselnya, lalu ia membandingkan wallpaper diponselnya dengan si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood yang sedang berdiri dan sedari tadi tersenyum.
"I..i..i..i.." Tia gelapan, "I'm so sorry...". Tia menutup mukanya, Liza terkikik melihat muka Tia yang memerah.
"Alex O'Loughlin" si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood yang ternyata memang Alex O'Loughlin mengulurkan tangan. Liza menggenggam tangan Alex yang kekar, "Liza.. and this is.."
"Tia.. you're biggest fans..." Tia menggenggam tangan Alex dan terus menerus mengatakan "I'm you're biggest fans." Alex tertawa, "Yes... I can see that."
"So.. you said you need our help, what can we do?" tanya Liza. Alex menjelaskan sambil mereka berjalan beriringan, "I need some surf equipments with reasonable price too.. Can you help me with that?".
Liza mengangguk, "Sure, we can help you...". Mereka bertiga lalu tampak keluar masuk beberapa toko peralatan surfing.
"Is that all you need?" ujar Liza. Alex mengangguk senang, "Yeah.. Thank you so much for helping me."
"We're happy to help you..." celetuk Tia dengan senyum geje dimukanya.
Alex tertawa, memamerkan deretan gigi putihnya, Tia mencengkeram lengan Liza. "Sakit,Tia..." Liza meringis.
"Would you girls like to have lunch with me? It's on me, as token of my gratitude.." Alex menawarkan sesuatu yang tidak akan ditolak oleh cewek manapun kecuali tu cewek lesbian.
Liza menggeleng, "We would love to, but we don't want to disturb your vacation. It's your private moment with your special one.. Rite, Tia?".
Tia memandangi Liza tak percaya, "Huh?? Really??"
Alex menggeleng, "I'm alone here.... But you two are my new friends, so, do we still have lunch together?".
"Yes.. We would love to..." kata Tia cepat sambil melirik ke arah Liza.
"Great.. But, can we return to my hotel, i don't like walking around with my shopping bags."
"We will go wherever you will go." celetuk Tia cepat.
Liza untuk kesekian kali menepuk jidatnya mendengar celetukan Tia. Lalu mereka kembali berjalan beriringan menuju hotel tempat Alex menginap. Tia dan Liza menunggu dilobi depan, duduk dideretan kursi dekat air mancur. Tak lama kemudian muncullah sesosok cowok yang dikenal Liza. Liza mencolek Tia yang sedang memandangi air mancur.
"Aduuh.. ancene ini hari keberuntunganku kok yaaa... Tia.. itu lo.. yang lagi dimeja resepsionis.. sapa hayooo..."
Tia ogah-ogah2an mengangkat kepalanya, bayang-bayang Alex O'Loughlin masih menempel dimatanya,"Sapa seh Liz... Kok kamu....". Tia melongo melihat sosok yang sedang menulis sesuatu dimeja resepsionis, "Gak mungkin.. ayolah... dengan satu milyar orang didunia, kenapa harus dia???" Tia meratap sebal, "Mana bajunya sama persis dengan Alex!! Maksute looooooo...". Tia menutup mukanya dan menggeleng-geleng kepalanya...
Liza mengedip jahil, "Tandanya, kamu masih mikirin Valentino Rossi..". Liza bangkit dari kursi dan,
"Excuse me, you are Valentino Rossi, right?". Sedetik kemudian Liza ngobrol dengan... yah.. benar.. Valentino Rossi...

Dan aku pun terbangun dari mimpiku... Why... Why you have to destroy my one sweet dream with Alex O'Loughlin, Vale?? WHHHHYYYYY??????? *nangis bombay*

Just for once, could you let me have one steamy, sexy dream with Alex O'Loughlin  or my other idols,please?? Please.. I beg you, get the bloody hell away from my DREAM!!!!

Eniwei, terima kasih Allah SWT udah kasih aku mimpi yang geje hakaakakakakakak