Thursday 30 December 2010

The Vacation - Part 1

Nicky tersenyum melihatku... Aku tersihir oleh mata hijaunya dan ikut tersenyum, "Kenapa?? Kok gitu sih ngeliatin aku...".
Nicky tergelak, "Nggak boleh ya...". Aku menggeleng pelan, "Bukannya nggak boleh, kamu ngeliatin sambil senyum-senyum, aku kan jadi takut.. Ada bekas kue nempel dimukaku ya??". Aku meraba-raba mukaku, mungkin ada sisa-sisa kue yang aku makan tadi. Kue buatan Mama Rose - ibunda Nicky - sangat enak. Kue coklat tiga lapis, aku menolak untuk makan, tapi Mama Rose memaksa.
"Kalau datang ke rumah keluarga Hayden, wajib makan" begitu kata Mama Rose. Aku cuma meringis, dan dengan senang hati melahap kue itu. Mama Rose terkejut dan dia tersenyum, beliau memelukku sembari berbisik, "Kamu akan baik-baik saja...". Lalu beliau mengecup dahiku dan meninggalkan aku dan Nicky bercengkerama didapur.
Nicky meraih tanganku yang masih berkelana dimukaku, dia menggenggam dan menciumnya... Aku bisa merasakan pipiku memerah, Nicky tersenyum dan menelusuri bias-bias kemerahan dipipiku... Aku menunduk, menyembunyikan rasa malu yang semakin menyerang dan aku yakin membuat wajahku seluruhnya memerah.
Mata kami saling beradu, Nicky mendekat, semakin dekat... Aku bisa merasakan hembusan nafasnya dikulit wajahku, wangi cologne yang ia pakai... Waktu serasa berhenti, Nicky menelengkan kepalanya, aku juga... Bibirku membuka menyambut ciumannya...
"ES KLIM!!!!" teriak Anna yang berlari masuk dari pintu yang menghubungkan dapur dan taman belakang. Aku terhenyak, Nicky terkejut, lalu ia mundur dan memperbaiki posisi duduknya. Aku juga, pura-pura bermain dengan garpu yang kupakai untuk makan kue tadi sembari menunduk, mencoba menata perasaan yang kacau balau.
Anna, keponakan Nicky yang berumur 8 tahun. Rambut pirang, bermata biru, mencoba meraih pegangan lemari es yang lebih tinggi darinya. Dia cemberut,lalu menoleh kearahku dan Nicky. "Om.. ambilin es klim donk..." rengek Anna.
Nicky turun dari kursi, berjongkok dan memencet hidung Anna, "Sudah ijin Mom,belum?".
Anna meringis, memperlihatkan gigi depannya yang tanggal, lalu ia berlari menuju pintu. Nicky terkekeh, "Sebaiknya kita pergi yuk, sebelum kita diserbu monster es krim." Aku mengangguk dan segera mencuci piring serta gelas bekas makan aku dan Nicky.
Kami baru saja akan menaiki mobil ketika ponsel Nicky berbunyi, dia mengangguk, dan sesekali menjawab singkat, lalu raut mukanya berubah serius. Nicky memainkan ponselnya, lalu menghela nafas, "Kita tunda dulu ya... Ada urusan mendadak...".
Aku mengangguk, mengerti kesibukan Nicky mengurusi bisnis keluarganya. Aku membuka tas dan mencari kunci mobilku, "Ya sudah... aku pulang ya...". Secepat itu aku menyadari Nicky menciumku, lembut dan hangat. Bibir Nicky membuka bibirku perlahan, kedua tangannya menangkup pipiku. Semakin lama ciumannya membuat lututku lemas, tak kuat menahan gejolak yang meletup-letup. Nicky melepaskan bibirnya, kening kami saling bertemu. Nafas kami sama-sama memburu, dia mengecup bibirku lembut. Ia menarikku dalam pelukannya, aku bisa merasakan dampak ciuman kami dari celananya yang menempel ditubuhku.
Nicky melambaikan tangan ketika mobilku berlalu dari halaman rumahnya. Aku menepikan mobil, membaca sms yang masuk dari Liza, salah satu teman serumahku. Aku, Liza, Cita, Dina dan Luis menyewa sebuah rumah. Awalnya aku menyewa sendirian, lalu aku bertemu Cita,  kemudian Liza, Dina dan yang terakhir Luis.
"From: Liza (+14646xxxx)
Lagi dimana? Meeting at camp ASAP"
Aku menggeleng pelan, 'repot nie urusane kalo ada kata ASAP', aku berkata dalam hati. Tak lama aku sampai rumah, tampaknya semua sudah berkumpul, aku yang paling akhir. Ada mobil New Beetle warna biru milik Cita, Fiat 500 hijau punya Liza, sepeda listrik milik Dina, serta otopet kepunyaan Luis.
Suara cengkerama mereka menyambut langkah kakiku diruang tengah.
"Naaah.. datang juga.. kemana aja seh, mbak??" serobot Luis.
"Iya nie.. ditungguin juga.. aku kirim sms'e lo lima belas menit yang lalu.." ujar Liza tidak mau kalah.
"Ma..."
"Pasti lagi kencan ya... ponselnya di-silent.." potong Cita cepat dengan sorot mata menyelidik.
Aku duduk disofa,  mengangkat kaki serta melipat tanganku didepan dada, "Apa yang urgent dan ASAP?".
"Waaah... sikap badan menolak memberikan penjelasan..." kata Dina.
Liza berdehem, "Oke.. meeting is officially opened. To the point yah, piknik kita minggu ini ke Texas!!!!". Cita, Dina dan Luis terpekik senang. Aku tersenyum, "Sejak kapan diputusin? Bukannya kita harus survey tempat dulu?".
"Sudah diputuskan karena kita mendapat tempat menginap GRATIS!!!" Liza mengedipkan mata.
Aku mengernyitkan dahi,"Gratis? Hari gini masih ada yang mau kasih gratisan?".
"Ada donk..." Cita menimpali sembari tersenyum. Aku merasakan ada sesuatu yang lain.
"Kita nginep dipeternakannya Ben,Mbak..." kata Dina. Aku terlonjak kaget.
"Ben?" suaraku tercekat. Luis mengangguk, "Iyaaa... Mbak, Benjamin Patrick Spies". Aku menutup muka mendengar Luis menyebutkan nama lengkap Ben.
"I'm not going.." ujarku cepat. Para cewek yang lain bersahut-sahutan menunjukkan protes mereka.
"Girls... please.. one at a time.." Liza menengahi, lanjutnya, "Kenapa gak ikut? What ever happen in the past, doesn't matter anymore,right? Kamu udah move on, kamu sama Nicky sekarang..."
"Iya,mbak...Kan kita liburannya bareng-bareng, bukan mbak Tia sendiri.." Luis menimpali.
Cita duduk disebelahku, "Tenaaaang... Gak akan aku biarkan si Ben godain kamu.. Aku yang nggodain Ben."
Aku tergelak, dan kami pun tertawa bersama-sama. Suara tawa kami menggema keseluruh rumah.
"Harusnya kalian tempel pengumuman dipintu kulkas kalau mau rapat...". Aku menoleh melihat asal suara itu, ternyata pacar Liza, si dokter anak nyentrik Valentino Rossi. Mukanya kusut, rupanya suara tawa kami membangunkan dia dari tidur siangnya. Liza meringis, "Maaf, sayang...". Vale menggeleng dan tersenyum, meminum jus jeruknya dan dengan cuek berbalik menaiki tangga menuju kamar untuk kembali tidur. Aku langsung menatap Liza dengan tatapan menuduh.
"Dia kuliahnya sampek malem terus...Aku bilang, kalo pagi ada shift, pulang kesini aja, jadi aku bisa nyiapin sarapan buat dia.." Liza menjelaskan, aku dan yang lain hanya geleng-geleng kepala.
"Tiap kali Vale nginep sini, tagihan listrik kita naek loo... Pasti karena malem-malem mandi yah.." Cita menggoda Liza. Luis dan Dina terkikik.
Liza cemberut, "Jangan nuduh donk Cit...".
"Udah..Udah.. Nie jadinya ke Texas ya?" aku ingin cepat-cepat menyudahi rapat geje ini.
"HO OH" keempat cewek itu menyahut dengan mantabnya. Aku mengangguk dan beranjak dari tempat dudukku, "Okelah kalo begitu..."
Luis melihat aku naik tangga sambil bergumam, "Kok pasrah gitu ya?".
"Lagi capek kali,Lu.." kata Dina kembali sibuk dengan majalah olahraganya.
"Bobo ah..." Liza dengan sigap pergi dari ruang tengah. Cita melongo, "Lho... yok opo seh??". Dia merengut, lalu Dina dengan cuek menyodorkan remote tivi kepada Cita.

Tibalah hari yang ditunggu, dari pagi para cewek sibuk mempersiapkan diri.
Aku menghela nafas, masih tidak percaya karena akan ikut liburan gila ini. Gimana nggak gila, liburan menginap di peternakan cowok yang pernah aku taksir abis-abisan setahun yang lalu.
"We're ready to go, kumpul dibawah sekarang!" Liza muncul dipintu kamarku, lalu aku mendengar dia mengingatkan para cewek yang lain.

TO BE CONTINUED....

Unexpected

"Liz... ini lo bagus..." Tia menyeret Liza ke rak dekat pintu masuk. Mereka sedang berbelanja pernak pernik hiasan. Liza terkikik, "Aku belum selesai lihat yang sebelah situ, malah ditarik kesini...". Tia memegang sebuah vas bunga dengan tempelan cangkang kerang, "Jarang-jarang aku bisa maen ke Bali." Dia mendengus, menyeka keringat yang menetes didahinya dengan tisu, "udah hampir 3 hari disini gak nemu bule yang cucok. Minimal artis sapa getoooh..."
Liza geleng-geleng kepala melihat Tia lalu ia mengambil sebuah topi dan mencobanya, "Pantes gak?? Lagian ya Ti.. mana mungkin artis Hollywood liburan disini, lak dikerubuti kayak Julia Roberts syuting EPL."
Liza meletakkan topi dan menoleh keluar, kearah ramainya jalanan; Bali... Banyak turis dan orang lokal berlalu-lalang, mata Liza berkeliling, seperti mencoba mencari seulas wajah yang ia kenal hingga...
"Ti...Tia.. Tiaaaaa..." pekik Liza sambil lompat-lompat. Tia masih sibuk dengan kotak aksesoris dari tempurung kelapa, "Apa Liz... apa??".
Jari Liza menunjuk ke seberang jalan, "Itu.. itu looo.. Haduuh.. aq gak ngimpi kan??". Liza menepuk-nepuk pipinya, meyakinkan dirinya ia tidak sedang bermimpi, lalu ia mencolek-colek lengan Tia. Tia tampak tidak memperdulikan Liza. Liza merengut, lalu ia merenggut pipi tembem Tia dan menariknya, menolehkannya. Mata Tia melotot, dia melongo melihat seseorang diseberang jalan.
"Is that...." Tia gak percaya.
Liza mengangguk-angguk dan tersenyum, "Looks like it..".
Tia menggeleng, "Gak mungkin... Artis Hollywood macem dia kok, mana mungkin, mirip doank tuh... Dah, aq masih harus milih barang buat oleh-oleh nie".
Tia kembali sibuk dengan berbagai macam pernak-pernik ditoko. Liza menyipitkan matanya, hawa Bali yang panas mungkin saja menimbulkan fatamorgana. Tangan Liza menutupi sebagian dahinya, menghalangi silau sinar matahari, "Iya... mirip be'e ya...". Liza mengangkat bahunya, lalu ia mencoba kacamata dengan bingkai cangkang kerang.
"Hello girls..."
Tia dan Liza menoleh, mereka tercengang melihat si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood berdiri didepan mereka dan menyapa mereka.
"Hi.." balas Liza. Tia meletakkan belanjaannya, tersenyum-senyum geje, "Ha...Haa.. Ha.."
Liza menyenggol Tia, "Hello...". Tia dan Liza saling berpandangan.
"How are you?" Liza berusaha memecah kegugupan.
Si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood tersenyum, "Good.. I just wondering, could you girls help me?".
Mata Tia dengan seksama meneliti cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood. Celana surfing selutut warna coklat, biar pake sendal jepit tapi gak mati gaya, malah bikin cewek-cewek yang ngeliat ngos-ngosan - seenggaknya itu yang dialami Tia - kaos tanpa lengan warna putih polos, lengan yang liat dan otot-otot yang menonjol... Tato di lengan kanan dan kiri, benar-benar mirip dengan...

"You're not accidentally looks like Alex O'Loughlin, are you?" celetuk Tia tanpa dosa.
Liza melotot mendengar ucapan polos Tia. Liza menepuk jidatnya, "I'm sorry... what she's trying to say is..."
"What if I'm REALLY Alex O'Loughlin?" ujar si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood.
Tia tertawa terbahak-bahak, "No, way.. There's no way my Alex "Commander Steve McGarrett" O'Loughlin having vacation in Bali. It's not like Hawaii is not good enough, rite Liz??"
Liza menggeleng dan melotot kearah Tia dan berbisik, "Emang dia ALEX O'LOUGHLIN.. Kamu lihat tuh tatonya!!! Mana ada orang punya tato mirip???".
Senyum dari wajah Tia menghilang, matanya tak berkedip menatap tato dilengan kanan dan kiri si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood. Tia mengambil ponselnya, lalu ia membandingkan wallpaper diponselnya dengan si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood yang sedang berdiri dan sedari tadi tersenyum.
"I..i..i..i.." Tia gelapan, "I'm so sorry...". Tia menutup mukanya, Liza terkikik melihat muka Tia yang memerah.
"Alex O'Loughlin" si cowok-seberang jalan-yang-mirip-artis-Hollywood yang ternyata memang Alex O'Loughlin mengulurkan tangan. Liza menggenggam tangan Alex yang kekar, "Liza.. and this is.."
"Tia.. you're biggest fans..." Tia menggenggam tangan Alex dan terus menerus mengatakan "I'm you're biggest fans." Alex tertawa, "Yes... I can see that."
"So.. you said you need our help, what can we do?" tanya Liza. Alex menjelaskan sambil mereka berjalan beriringan, "I need some surf equipments with reasonable price too.. Can you help me with that?".
Liza mengangguk, "Sure, we can help you...". Mereka bertiga lalu tampak keluar masuk beberapa toko peralatan surfing.
"Is that all you need?" ujar Liza. Alex mengangguk senang, "Yeah.. Thank you so much for helping me."
"We're happy to help you..." celetuk Tia dengan senyum geje dimukanya.
Alex tertawa, memamerkan deretan gigi putihnya, Tia mencengkeram lengan Liza. "Sakit,Tia..." Liza meringis.
"Would you girls like to have lunch with me? It's on me, as token of my gratitude.." Alex menawarkan sesuatu yang tidak akan ditolak oleh cewek manapun kecuali tu cewek lesbian.
Liza menggeleng, "We would love to, but we don't want to disturb your vacation. It's your private moment with your special one.. Rite, Tia?".
Tia memandangi Liza tak percaya, "Huh?? Really??"
Alex menggeleng, "I'm alone here.... But you two are my new friends, so, do we still have lunch together?".
"Yes.. We would love to..." kata Tia cepat sambil melirik ke arah Liza.
"Great.. But, can we return to my hotel, i don't like walking around with my shopping bags."
"We will go wherever you will go." celetuk Tia cepat.
Liza untuk kesekian kali menepuk jidatnya mendengar celetukan Tia. Lalu mereka kembali berjalan beriringan menuju hotel tempat Alex menginap. Tia dan Liza menunggu dilobi depan, duduk dideretan kursi dekat air mancur. Tak lama kemudian muncullah sesosok cowok yang dikenal Liza. Liza mencolek Tia yang sedang memandangi air mancur.
"Aduuh.. ancene ini hari keberuntunganku kok yaaa... Tia.. itu lo.. yang lagi dimeja resepsionis.. sapa hayooo..."
Tia ogah-ogah2an mengangkat kepalanya, bayang-bayang Alex O'Loughlin masih menempel dimatanya,"Sapa seh Liz... Kok kamu....". Tia melongo melihat sosok yang sedang menulis sesuatu dimeja resepsionis, "Gak mungkin.. ayolah... dengan satu milyar orang didunia, kenapa harus dia???" Tia meratap sebal, "Mana bajunya sama persis dengan Alex!! Maksute looooooo...". Tia menutup mukanya dan menggeleng-geleng kepalanya...
Liza mengedip jahil, "Tandanya, kamu masih mikirin Valentino Rossi..". Liza bangkit dari kursi dan,
"Excuse me, you are Valentino Rossi, right?". Sedetik kemudian Liza ngobrol dengan... yah.. benar.. Valentino Rossi...

Dan aku pun terbangun dari mimpiku... Why... Why you have to destroy my one sweet dream with Alex O'Loughlin, Vale?? WHHHHYYYYY??????? *nangis bombay*

Just for once, could you let me have one steamy, sexy dream with Alex O'Loughlin  or my other idols,please?? Please.. I beg you, get the bloody hell away from my DREAM!!!!

Eniwei, terima kasih Allah SWT udah kasih aku mimpi yang geje hakaakakakakakak